Provinsi Sumatera Selatan
- Kabupaten Banyuasin
- Kabupaten Empat Lawang
- Kabupaten Lahat
- Kabupaten Muara Enim
- Kabupaten Musi Banyuasin
- Kabupaten Musi Rawas
- Kabupaten Musi Rawas Utara
- Kabupaten Ogan Ilir
- Kabupaten Ogan Komering Ilir
- Kabupaten Ogan Komering Ulu
- Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan
- Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur
- Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir
- Kota Lubuklinggau
- Kota Pagar Alam
- Kota Palembang
- Kota Prabumulih

Ibukota : Palembang
Tanggal berdiri :15 Mei 1946
Luas Wilayah : 53.435,72 Km2
Luas Wilayah : 53.435,72 Km2
Gubernur : H. Alex Noerdin
Wakil Gubernur : H. Eddy Yusuf
Jumlah Penduduk : 6.275.945 Jiwa
Kabupaten :11
Kotamadya :4
Alamat Kantor:
Jl. Kapten A. Riva'I, Palembang - Sumatera Selatan
T : (0711) 420126, 310419
F : (0711) 363789, 311000
W : www.sumselprov.go.id
Sejarah
Sejarah Sumatera Selatan memiliki keterkaitan dengan sejarah Riau dan sejarah kerajaan-kerajaan di Semenanjung Tanah Melayu. Hal ini sangat logis bila dihubungkan dengan perkembangan bangsa Deutro-Melayu di daerah ini. Keturunan Deutro-Me¬layu ini telah menghuni kawasan ter¬sebut sejak tahun 300 SM. Mereka menggeser kedudukan bangsa Proto¬ Melayu yang datang ke sana sekitar 2.000 tahun sebelumnya.
Karena letaknya yang strategis bagi dunia pelayaran, ditambah dengan kekayaan alamnya yang berlimpah, Sumatera Selatan banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing, terutama dari Arab, India dan Cina, se¬jak awal tarikh Masehi. Maka tidak mengherankan jika masyarakat Sum¬sel cepat berkembang dan kemudian melahirkan sebuah kerajaan besar yang bernama Sriwijaya.
Para ahli sejarah sependapat bah¬wa Kerajaan Sriwijaya tumbuh, ber¬kembang dan mengalami masa keja¬yaannya selama berabad-abad antara abad ketujuh sampai abad ke-12. Sriwijaya menghasilkan sendiri komo¬diti penting pada masa itu, seperti lada dan timah. Daerah yang banyak menghasilkan lada adalah daerah sepanjang Sungai Kampar, Kuantan, Singingi (Riau) dan Batanghari (Jam¬bi). Timah didatangkan dari daerah Kedah (Malaysia) dan Tapung Peta¬pahan di hulu Sungai Siak (Riau). Se¬lain itu Sriwijaya juga menjual emas yang berasal dari Sungai Kuantan dan Singingi.
Barang-barang ini menarik para pedagang dari Barat dan Timur untuk berlomba-lomba berdagang dengan Sriwijaya. Bahwa kebesaran Sriwijaya tidak disangsikan lagi, hal itu logis karena memang cukup banyak fakta sejarah yang mendukungnya. Tetapi tidak demikian dengan persoalan lo¬kasi pusat kerajaan tersebut. Para ahli sejarah masih terus memperdebatkan masalah ini.
Sejumlah ahli sejarah berpendapat bahwa pusat kerajaan tersebut adalah Palembang, di mana ditemukan banyak prasasti peninggalan Sriwijaya. Yang lain meletakkannya di Teluk Bandon (sekarang wilayah Muang¬thai), di Jawa, di Perak, di Jambi, dan di Muaratakus (Riau). Hal ini berda¬sarkan pada rekonstruksi peta-peta yang menunjukkan nama-nama tem¬pat yang disebut dalam berbagai sum¬ber asing dan catatan perjalanan para pedagang raja zaman itu, di sam¬ping aneka cerita rakyat tentang Raja Sriwijaya. Walaupun begitu, mung¬kin saja setiap versi masing-masing me¬miliki kebenaran. Sebab sebagai ne¬gara maritim yang kaya dan dinamis seperti Sriwijaya, berpindah-pindah ibukota dalam rentang waktu lebih da¬ri lima abad bukanlah suatu hal yang mustahil.
Perkembangan pesat yang dialami Sriwijaya diperkirakan terjadi antara abad ke-ll sambai abad ke-12. Ketika itu Sriwijaya, yang memiliki 13 negara jajahan, meliputi seluruh wilayah In¬donesia bagian barat dan seluruh Se¬menanjung Melayu sampai ke sebelah selatan Teluk Bandon.
Tulisan-tulisan yang berisi ajaran Budha yang ditemukan di Pasir Pan¬jang, ujung utara Pulau Karimun (Ke¬pulauan Riau), memberikan petunjuk bahwa daerah tersebut merupakan pos terdepan Sriwijaya untuk mengawasi jalur pelayaran di mulut Selat Melaka. Di atas prasasti itu ditemukan tiga telapak kaki kiri berukuran raksasa. Telapak kaki kanannya dalam ukuran yang sama ditemukan di suatu tempat di Singapura.
Telapak kaki tersebut melukiskan Sang Budha yang menguasai dunia sedang berdiri menghadap ke utara, dengan kaki kiri berpijak di Pasir Panjang dan kaki kanan di Pulau Si¬ngapura. Maka kapal-kapal yang melalui Selat Melaka akan berada di bawah kangkangannya. Hal ini meru¬pakan gimbal besarnya kekuasaan Ke¬rajaan Sriwijaya yang pada waktu itu berpusat di Muaratakus.
Dalam puncak kejayaannya Sri¬wijaya merupakan pusat perdagangan internasional dan pusat pengajaran agama Budha di Asia Tenggara. Ke¬adaan seperti itu berlangsung sampai datang serangan dari Kera¬jaan Siam pada tahun 1292, Kerajaan Melayu-Jambi yang telah dikuasai Ke¬rajaan Singosari sejak tahun 1275. Sejak itu masa kejayaan Sriwijaya mulai pudar.
Setelah Sriwijaya runtuh akibat serangkaian invasi tersebut, para ang¬gota keturunan dinasti Sailendra ber¬usaha untuk menghidupkan kembali kebesaran tahta leluhur mereka de¬ngan mendirikan kerajaan-kerajaan baru. Salah seorang di antaranya adalah Sang Sapurba, yang meninggalkan Palembang untuk mencari bantuan da¬ri beberapa kerajaan kecil bekas man¬dala Sriwijaya.
Menurut Sejarah Melayu, rom¬bongan Sang Sapurba berangkat dari Palembang sekitar akhir abad ke-13 menghilir Sungai Musi dan mendarat di Kerajaan Tanjungpura. Di sana sa¬lah seorang putranya dikawinkan de¬ngan putri penguasa setempat dan kemudian dinobatkan sebagai raja. Se¬telah itu Sang Sapurba pergi ke Bintan, dan di sana ia juga mengawinkan lagi seorang putranya dengan putri raja Bintan. Tujuannya mengawinkan pu¬tra-putranya dengan putri raja-raja setempat adalah untuk menghidupkan kembali imperium leluhurnya.
Jumlah Penduduk : 6.275.945 Jiwa
Kabupaten :11
Kotamadya :4
Alamat Kantor:
Jl. Kapten A. Riva'I, Palembang - Sumatera Selatan
T : (0711) 420126, 310419
F : (0711) 363789, 311000
W : www.sumselprov.go.id
Sejarah
Sejarah Sumatera Selatan memiliki keterkaitan dengan sejarah Riau dan sejarah kerajaan-kerajaan di Semenanjung Tanah Melayu. Hal ini sangat logis bila dihubungkan dengan perkembangan bangsa Deutro-Melayu di daerah ini. Keturunan Deutro-Me¬layu ini telah menghuni kawasan ter¬sebut sejak tahun 300 SM. Mereka menggeser kedudukan bangsa Proto¬ Melayu yang datang ke sana sekitar 2.000 tahun sebelumnya.
Karena letaknya yang strategis bagi dunia pelayaran, ditambah dengan kekayaan alamnya yang berlimpah, Sumatera Selatan banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing, terutama dari Arab, India dan Cina, se¬jak awal tarikh Masehi. Maka tidak mengherankan jika masyarakat Sum¬sel cepat berkembang dan kemudian melahirkan sebuah kerajaan besar yang bernama Sriwijaya.
Para ahli sejarah sependapat bah¬wa Kerajaan Sriwijaya tumbuh, ber¬kembang dan mengalami masa keja¬yaannya selama berabad-abad antara abad ketujuh sampai abad ke-12. Sriwijaya menghasilkan sendiri komo¬diti penting pada masa itu, seperti lada dan timah. Daerah yang banyak menghasilkan lada adalah daerah sepanjang Sungai Kampar, Kuantan, Singingi (Riau) dan Batanghari (Jam¬bi). Timah didatangkan dari daerah Kedah (Malaysia) dan Tapung Peta¬pahan di hulu Sungai Siak (Riau). Se¬lain itu Sriwijaya juga menjual emas yang berasal dari Sungai Kuantan dan Singingi.
Barang-barang ini menarik para pedagang dari Barat dan Timur untuk berlomba-lomba berdagang dengan Sriwijaya. Bahwa kebesaran Sriwijaya tidak disangsikan lagi, hal itu logis karena memang cukup banyak fakta sejarah yang mendukungnya. Tetapi tidak demikian dengan persoalan lo¬kasi pusat kerajaan tersebut. Para ahli sejarah masih terus memperdebatkan masalah ini.
Sejumlah ahli sejarah berpendapat bahwa pusat kerajaan tersebut adalah Palembang, di mana ditemukan banyak prasasti peninggalan Sriwijaya. Yang lain meletakkannya di Teluk Bandon (sekarang wilayah Muang¬thai), di Jawa, di Perak, di Jambi, dan di Muaratakus (Riau). Hal ini berda¬sarkan pada rekonstruksi peta-peta yang menunjukkan nama-nama tem¬pat yang disebut dalam berbagai sum¬ber asing dan catatan perjalanan para pedagang raja zaman itu, di sam¬ping aneka cerita rakyat tentang Raja Sriwijaya. Walaupun begitu, mung¬kin saja setiap versi masing-masing me¬miliki kebenaran. Sebab sebagai ne¬gara maritim yang kaya dan dinamis seperti Sriwijaya, berpindah-pindah ibukota dalam rentang waktu lebih da¬ri lima abad bukanlah suatu hal yang mustahil.
Perkembangan pesat yang dialami Sriwijaya diperkirakan terjadi antara abad ke-ll sambai abad ke-12. Ketika itu Sriwijaya, yang memiliki 13 negara jajahan, meliputi seluruh wilayah In¬donesia bagian barat dan seluruh Se¬menanjung Melayu sampai ke sebelah selatan Teluk Bandon.
Tulisan-tulisan yang berisi ajaran Budha yang ditemukan di Pasir Pan¬jang, ujung utara Pulau Karimun (Ke¬pulauan Riau), memberikan petunjuk bahwa daerah tersebut merupakan pos terdepan Sriwijaya untuk mengawasi jalur pelayaran di mulut Selat Melaka. Di atas prasasti itu ditemukan tiga telapak kaki kiri berukuran raksasa. Telapak kaki kanannya dalam ukuran yang sama ditemukan di suatu tempat di Singapura.
Telapak kaki tersebut melukiskan Sang Budha yang menguasai dunia sedang berdiri menghadap ke utara, dengan kaki kiri berpijak di Pasir Panjang dan kaki kanan di Pulau Si¬ngapura. Maka kapal-kapal yang melalui Selat Melaka akan berada di bawah kangkangannya. Hal ini meru¬pakan gimbal besarnya kekuasaan Ke¬rajaan Sriwijaya yang pada waktu itu berpusat di Muaratakus.
Dalam puncak kejayaannya Sri¬wijaya merupakan pusat perdagangan internasional dan pusat pengajaran agama Budha di Asia Tenggara. Ke¬adaan seperti itu berlangsung sampai datang serangan dari Kera¬jaan Siam pada tahun 1292, Kerajaan Melayu-Jambi yang telah dikuasai Ke¬rajaan Singosari sejak tahun 1275. Sejak itu masa kejayaan Sriwijaya mulai pudar.
Setelah Sriwijaya runtuh akibat serangkaian invasi tersebut, para ang¬gota keturunan dinasti Sailendra ber¬usaha untuk menghidupkan kembali kebesaran tahta leluhur mereka de¬ngan mendirikan kerajaan-kerajaan baru. Salah seorang di antaranya adalah Sang Sapurba, yang meninggalkan Palembang untuk mencari bantuan da¬ri beberapa kerajaan kecil bekas man¬dala Sriwijaya.
Menurut Sejarah Melayu, rom¬bongan Sang Sapurba berangkat dari Palembang sekitar akhir abad ke-13 menghilir Sungai Musi dan mendarat di Kerajaan Tanjungpura. Di sana sa¬lah seorang putranya dikawinkan de¬ngan putri penguasa setempat dan kemudian dinobatkan sebagai raja. Se¬telah itu Sang Sapurba pergi ke Bintan, dan di sana ia juga mengawinkan lagi seorang putranya dengan putri raja Bintan. Tujuannya mengawinkan pu¬tra-putranya dengan putri raja-raja setempat adalah untuk menghidupkan kembali imperium leluhurnya.
Demografi
• Agama Islam 95,27%
Kristen 3,24%
— Protestan 2,05%
— Katolik 1,19%
Buddha 1,29%
Hindu 0,19%
Konghucu 0,01%[3]
• Bahasa
Bahasa resmi:
Indonesia
Bahasa daerah asli:
Melayu Palembang, Besemah, Musi, Ogan, Penesak, Komering, Melayu Tengah
Bahasa lainnya:
Jawa, Batak, Bali, Hokkien, Khek, Sunda, Lampung
• IPM Kenaikan 70,90 (2022)
tinggi
Geografi
Provinsi Sumatra Selatan secara geografis terletak antara 1–4° Lintang Selatan dan 102–106° Bujur Timur, dan luas daerah seluruhnya adalah 87.017.41 km2.
Batas batas wilayah Provinsi Sumatra Selatan sebagai berikut:
sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Jambi,
sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Lampung,
sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Bangka Belitung,
sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Bengkulu.
Secara topografi, wilayah Sumatra Selatan di Pantai Timur tanahnya terdiri dari rawa-rawa dan payau yang dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasinya berupa tumbuhan palmase dan kayu rawa (bakau). Sedikit makin ke barat merupakan dataran rendah yang luas. Lebih masuk kedalam wilayahnya semakin bergunung-gunung. Disana terdapat bukti barisan yang membelah Sumatra Selatan dan merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 900 – 1.200 meter dari permukaan laut. Bukit barisan terdiri atas puncak Gunung Seminung (1.964 m), Gunung Dempo (3.159 m), Gunung Patah (1.107 m) dan Gunung Bengkuk (2.125m). Disebelah Barat Bukit Barisan merupakan lereng. Provinsi Sumatra Selatan mempunyai beberapa sungai besar. Kebanyakan sungai-sungai itu bermata air dari Bukit Barisan, kecuali Sungai Mesuji, Sungai Lalan dan Sungai Banyuasin. Sungai yang bermata air dari Bukit Barisan dan bermuara ke Selat Bangka adalah Sungai Musi, sedangkan Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Kelingi, Sunga Lakitan, Sungai Rupit dan Sungai Rawas merupakan anak Sungai Musi.
Secara administratif Sumatra Selatan terdiri dari 13 (tiga belas) Pemerintah Kabupaten dan 4 (empat) Pemerintah Kota, dengan Palembang sebagai ibukota provinsi. Pemerintah kabupaten dan kota membawahi pemerintah kecamatan dan desa atau kelurahan. Sumatra Selatan memiliki 13 kabupaten, 4 kota madya, 212 kecamatan, 354 kelurahan, dan 2.589 desa.[butuh rujukan] Kabupaten Ogan Komering Ilir menjadi Kabupaten dengan luas wilayah terbesar dengan luas 16.905,32 ha, diikuti oleh Kabupaten Musi Banyuasin dengan luas wilayah sebesar 14.477 ha.
Terdapat empat sektor yang memberikan sumbangan cukup besar terhadap PDRB. Pada 2010, empat sektor yang memberikan sumbangan terbesar adalah sektor industri pengolahan, diikuti oleh sektor pertambangan dan penggalian, sektor pertanian serta sektor perdagangan, hotel dan Restoran. Pada tahun yang sama, kontribusi masing-masing sektor diatas secara berurutan adalah 23,67%, 21,62%, 16,85%, 12,70%.[butuh rujukan]
Sebagai salah satu provinsi tujuan investasi, Sumatra Selatan memiliki berbagai sarana dan prasarana penunjang, di antaranya adalah Bandara S.M. Badaruddin II yang terdapat di Kota Palembang, Bandara Silampari yang terletak di kota Lubuklinggau, Bandara Tanjung Enim di Kabupaten Muara Enim, Bandara Banding Agung yang terletak di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Pelabuhan Palembang yang terketak di Kota Palembang juga Pelabuhan Khusus Kerta Pati di Kabupaten Muara Enim.[4]
Iklim
[icon]
Bagian ini memerlukan pengembangan. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya.
Demografi
Tari kebagh dari Pagar Alam, Sumatra Selatan
Masalah kependudukan di antara lain meliputi jumlah, komposisi dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar merupakan salah satu modal dasar pembangunan, tetapi dapat juga menjadi beban dalam proses pembangunan jika mempunyai kualitas yang rendah. Oleh sebab itu untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam menangani permasalahan penduduk pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Di samping itu program perencanaan pembangunan sosial di segala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.
Pada tahun 2015 jumlah penduduk Sumatra Selatan sudah mencapai 8.370.281 jiwa, yang menempatkan Sumatra Selatan sebagai provinsi ke-6 terbesar penduduknya di Indonesia, BPS. Secara absolut jumlah penduduk Sumatra Selatan terus bertambah dari tahun ke tahun. Tercatat pada tahun 1971 jumlah penduduk sebesar 2,931 juta jiwa, meningkat menjadi 3,975 pada tahun 1980, 5,493 juta jiwa pada tahun 1990 serta 6,273 pada tahun 2000. Dengan jumlah penduduk yang begitu besar maka Sumatra Selatan dihadapkan kepada suatu masalah kependudukan yang sangat serius. Oleh karena itu, upaya mengendalikan pertumbuhan penduduk disertai dengan upaya peningkatan kesejahteraan penduduk harus merupakan suatu upaya yang berkesinambungan dengan program pembangunan yang sedang dan akan terus dilaksanakan.
Politik dan pemerintahan
Gubernur
Artikel utama: Daftar Gubernur Sumatra Selatan
Gubernur merupakan jabatan tertinggi di pemerintahan provinsi Sumatra Selatan, dan bertanggungjawab atas wilayah tersebut. Saat ini, gubernur atau kepala daerah yang menjabat di provinsi Sumatra Selatan ialah Herman Deru, dibantu wakil gubernur Mawardi Yahya. Mereka menang pada Pemilihan umum Gubernur Sumatra Selatan 2018. Herman merupakan gubernur Sumatra Selatan ke-16, sejak provinsi ini dibentuk. Herman dan Mawardi dilantik oleh presiden Republik Indonesia, Joko Widodo di Istana Negara Jakarta pada 1 Oktober 2018, untuk masa jabatan 2018-2023
Dewan Perwakilan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatra Selatan
Kantor DPRD Sumatra Selatan
DPRD Sumsel beranggotakan 75 orang yang dipilih melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Pimpinan DPRD Sumsel terdiri dari 1 Ketua dan 3 Wakil Ketua yang berasal dari partai politik pemilik jumlah kursi dan suara terbanyak. Anggota DPRD Sumsel yang sedang menjabat saat ini adalah hasil Pemilu 2019 yang dilantik pada 24 September 2019 oleh Ketua Pengadilan Tinggi Palembang di Gedung DPRD Provinsi Sumatra Selatan.[11] Komposisi anggota DPRD Sumsel periode 2019-2024 terdiri dari 11 partai politik dimana Partai Golkar adalah partai politik pemilik kursi terbanyak yaitu 13 kursi, kemudian disusul oleh PDI Perjuangan yang meraih 11 kursi dan Partai Gerindra yang meraih 10 kursi. Berikut ini adalah komposisi anggota DPRD Sumsel dalam tiga periode terakhir